Kompetensi Finansial Sebagai Kemampuan Esensial Bagi Pemain Sepakbola

Kompetensi Finansial Sebagai Kemampuan Esensial Bagi Pemain Sepakbola – Dalam situasi krisis pandemi sekarang, semua sektor sudah merasakan dampak dari sisi ekonomi. Sudah banyak karyawan yang dipotong gajinya, “dirumahkan”, tak mendapat upah bahkan di PHK, tak terkecuali pesepakbola.

PSSI lewat surat keputusan bernomor SKEP/48/III/2020 pada 27 Maret menyatakan, klub wajib membayar maksimal 25 persen dari nominal kontrak untuk periode Maret hingga Juni 2020. Menyikapi kebijakan PSSI tersebut, bahkan ada klub yang tak menggaji pemain sama sekali, sangat memprihatinkan.

Namun sebagai pesepakbola, keadaan seperti ini harusnya sudah diantisipasi, mengingat tanpa pandemi pun, karier sebagai pesepakbola itu tak panjang, belum lagi jika mereka terpaksa gantung sepatu akibat cedera atau tak mendapat kontrak kunjungi Agen Judi Bola Online Terpercaya.

Menurut Aakar Abyasa Fidzuno, CEO Jouska Indonesia, karier sebagai atlet (dalam hal ini sebagai pesepakbola) yang cepat ini justru merupakan sebuah benefit. Rata-rata atlet memulai karier di usia 17-20 tahun kemudian berakhir di sekitar usia 35 tahun. Hal ini menunjukan atlet sudah mulai menemukan jalan karirnya di usia yang sangat muda.

Hal ini berbeda dengan pekerja biasa. Seseorang biasanya baru lulus sekolah atau kuliah di usia 21-25 tahun. Setelah itu ia baru akan mencoba untuk mencari pekerjaan yang cocok untuknya. Mayoritas orang masih akan mencari-cari jalur karirnya hingga usia 30 tahun. Bahkan ada yang lebih lama dari itu, tidak sedikit orang yang sudah melewati usia 30 tahun namun belum menemukan jalur karier yang cocok untuknya.

Karena itulah atlet yang sudah dipersiapkan dengan sangat dini untuk menekuni bidangnya seharusnya dijadikan sebagai sebuah keuntungan. Seorang atlet memiliki waktu persiapan yang lebih panjang dan lebih fokus karena garis kariernya sudah bisa dilihat sejak usia yang sangat dini.

Namun persiapan di sinilah yang menjadi krusial. Di Indonesia memang masih menjadi missing link dimana atlet tidak dipersiapkan secara menyeluruh. Atlet terlalu difokuskan untuk urusan di dalam lapangan tanpa ada pembekalan diri untuk urusan-urusan di luar lapangan. Dampaknya, banyak atlet yang kebingungan setelah kariernya sebagai atlet berakhir di usia 30-an.

Kompetensi finansial adalah salah satu kemampuan esensial yang harus dimiliki seorang atlet. Aakar menambahkan mereka yang mendapatkan penghasilan besar di usia muda sangat rentan terserang sindrom OKB (orang kaya baru). Hal ini membuat uang yang mereka dapat tidak digunakan dengan bijak dan akhirnya kesulitan di masa tua. Atlet perlu dibekali oleh kemampuan finansial agar sadar akan hal-hal seperti ini. Sehingga ketika mereka menerima uang, mereka bisa berfikir berapa yang boleh mereka habiskan dan berapa yang harus mereka simpan untuk masa depan.

Ada dua hal yang merupakan kompetensi financial yang harus dilakukan pesepakbola, yaitu, mengatur keuangan yang masuk dan monetizing kariernya. Mengatur uang yang masuk artinya pesepakbola mampu menempatkan pendapatannya pada kebutuhan-kebutuhan yang tepat dan dalam jumlah yang tepat pula. Sedangkan monetizing karier artinya pesepakbola dapat memanfaatkan kariernya untuk investasi jangka panjang. Misal, mulai memanfaatkan akun media sosialnya untuk menerima endorsement, atau mendirikan bisnis clothing seperti yang sudah dilakukan, mantan pesepakbola Jepang, Wacko Maria, dan beberapa pemain Liga Indonesia.

Pentingnya mengatur keuangan sejak dini adalah langkah awal agar nasib pesepakbola tak berakhir dengan kesulitan keuangan. Bagi Aakar, menaikkan gaya hidup itu hal yang dilarang, tapi ketika gaya hidup naik, aset juga harus ikut naik.

Aakar juga mengumpamakan biaya untuk memenuhi gaya hidup itu ibarat sedang menyetir mobil. Jika kita mulai dengan gigi tinggi, maka tidak akan bisa jalan, sama seperti jika kita mulai dengan biaya untuk memenuhi gaya hidup yang tinggi, keuangan kita akan “mogok”. Jangan sampai pesepakbola menggunakan alasan “balas dendam” kala dahulu tak mampu membeli yang mereka inginkan, sekarang saat memiliki kemampuan dihabiskan untuk memenuhi gaya hidup.

Mengutip yang dikatakan Aakar, “Jangan sampai menjual kesedihan karena berasal dari keluarga sederhana, punya uang lalu hura-hura, kemudian jatuh dan kembali menjual kesedihan. Stop lakukan itu, karena itu bukan contoh yang baik.”

Bedah Cash Flow Pesepakbola
Sepakbola saat ini merupakan bisnis dengan perputaran uang yang besar, maka tak heran sebagai lakon utama, pemain mendapat upah yang besar pula.

Sebagai contoh, seorang pemain berusia 25 tahun dengan 2 anak memiliki nilai kontrak 1 milyar rupiah per tahun, mendapatkan uang muka atas kontraknya sebesar 200 juta, dan setelah itu mendapat gaji sebesar 72 juta per bulan. Dengan pengeluaran rata-rata 60 juta per bulan (kebutuhan harian, cicilan mobil dan rumah, uang sekolah anak, biaya entertain). Lalu apa yang harus dilakukan sang pemain agar tak mengalami kesulitan keuangan di masa tua?

Menurut Aakar, yang harus dilakukan pesepakbola tersebut ialah melakukan penyesuaian terhadap pengeluarannya. Memilih kredit (rumah atau kendaraan) dan asuransi yang tepat itu adalah kunci cash flow tetap aman. Kemudian yang dapat dilakukan adalah menekan kebutuhan tersier seperti gaya hidup.

Misal, dalam hal kebutuhan kendaraan, sebisa mungkin memanfaatkan karier sebagai pesepakbola (monetizing) untuk mendapatkan endorse dari perusahaan kendaraan tersebut, mengingat pesepakbola juga merupakan influencer. Jika langkah ini berhasil dilakukan, artinya satu kebutuhan sudah terpenuhi tanpa perlu mengeluarkan uang. Ini juga bisa diikuti saat ingin memenuhi kebutuhan lainnya seperti pakaian, sepatu hingga alat komunikasi.

Lain halnya dengan contoh pesepakbola wonderkid. Berusia 21 tahun, belum menikah, memiliki nilai kontrak 120 juta rupiah per tahun. Dalam kasus ini, Mas Aakar tanpa basa-basi langsung menyarankan pemain ini untuk berinvestasi, mengingat usianya yang masih muda dan belum berkeluarga. Karena, jika sudah berkeluarga, akan banyak kebutuhan yang tak dapat dikompromikan lagi. Langkah yang bisa diambil sang pemain adalah memangkas setengah gajinya di awal dan langsung dialokasikan untuk dimasukkan ke rekening investasi. Hal ini akan lebih mudah dan masuk akal mengingat pemain muda biasanya masih tinggal di asrama pemain.